Kamis, 23 Desember 2010

COPY-AN (Pembangkit semangat Jihad)

Teringat tulisan seorang saudara di MP, Akhuna Tegoeh: Saya adalah TERORIS, FUNDAMENTAL, RADIKAL dan FANATIK AGAMA! (Keep Istiqomah Bro!)

bila yg disebut TERORIS adalah,,
mereka yg membela Mujahidin dan kaum Muslimin,,
mereka yg membela Kesucian Agama dan Kehormatan Negara,,
maka, YA SAYA ADALAH SEORANG TERORIS!!

mengapa harus menjadi banci bila dicap sebagai TERORIS,, bila pasukan kuffar dgn biadab melakukan tindak keperibinatangan kpd saudara-saudara kita tanpa belas kasihan secara terang-terangan di berbagai belahan dunia,,??!!!

bila yg disebut FUNDAMENTAL adalah,,
mereka yg melawan kekafiran berpikir ala liberal,,
mereka yg memusuhi antek-antek dajjal,,
maka, YA SAYA ADALAH SEORANG FUNDAMENTAL!!

mengapa harus menjadi pengecut bila dicap sebagai FUNDAMENTAL,, kalau mereka yg idiot saja berani dgn lantang menamakan diri mereka liberal dgn topeng murahan sebagai inteluktual gombal bahkan dgn kekafiran berfikirnya dgn lancang menghina 'ulama, menghina Rosul saw yg mulia bahkan ingin merevisi Alqur-an,,??!!!

bila yg disebut RADIKAL adalah,,
mereka yg berani melawan kemunkaran,,
mereka yg siap Jihad Pemikiran sampai turun di medan juang,,
maka, YA SAYA ADALAH SEORANG RADIKAL!!

mengapa harus menjadi pecundang bila dicap sebagai RADIKAL,, kalau orang-orang idiot edan dgn congkaknya berani mencetuskan fiqh lintas agama yg terbantahkan secara mutlak dgn logika sehat apalagi dalil-dalil dlm agama,,??!!!

bila yg disebut FANATIK AGAMA adalah,,
mereka yg mencintai Alqur-an dan Assunnah,,
mereka yg mencoba belajar dan mengamalkannya,,
maka, YA SAYA ADALAH SEORANG FANATIK AGAMA!!

mengapa harus terlalu takut dicap sebagai FANATIK AGAMA,, bila para pendosa dgn bangga menjalani ladang-ladang bisnis kemaksiatan yg cabangnya dimana-mana,,??!!!

maka, inilah saya,,
saya adalah seorang TERORIS, FUNDAMENTAL, RADIKAL dan FANATIK AGAMA!!
adakah yg salah dgn saya,,??


~~~

KEEP ON DAKWAH

"Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda. Ia hanya mengenal satu sikap totalitas. Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang lemah dalam memikul beban ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang-orang yang duduk. Lalu Alloh swt akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan lebih sanggup memikul beban da'wah ini." [Hasan Al Banna]


Da'wah memang tidak mudah. Butuh orang-orang pemberani dan bermental baja. Jalan da'wah juga tidak ditaburi bunga-bunga indah dan wewangi kesturi, tapi ia terjal dan berliku, akan banyak kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang melukai tapak-tapak kaki sang pejuang.

Tapi, DA'WAH adalah ANUGERAH. Hanya orang-orang pilihan yang mampu mengembannya. Da'wah adalah kado terindah dan nikmat terbesar yang wajib kita syukuri. Terima kasih Ya Alloh, Kau izinkan kami mengenalnya, dan semoga Kau istiqomahkan kami untuk tetap bersamanya, bersama da'wah, selalu dan selamanya. Ah, apalah arti hidup ini tanpa da'wah??

Memang, godaan dunia akan melemahkan tapak-tapak kaki dalam menaiki tangga kemuliaan, syaitan-syaitan akan menghasut untuk memperkecil nyali di hadapan kemungkaran dan kemaksyiatan, konflik-konflik kecil bisa merenggangkan kerekatan dan hangatnya persaudaraan, dan masih banyak lagi ujian yang dapat meredupkan pancaran cahaya hubbusy-syahadah yang menjadi cita-cita setiap pejuang.

Seberapa TANGGUHkah kita?
Seberapa KUATkah kita?

Pantaskah kita menjadi GENERASI GHURABA' jika untuk membangun kokohnya akhirat hanya dengan mengandalkan sisa-sisa dari dunia saja? Jika dalam menyelesaikan tugas-tugas besar hanya mengandalkan sisa-sisa waktu saja? Jika merindukan ridho Alloh hanya dengan mujahadah yang sekadarnya? PANTASKAH? Akankah pertolongan Alloh dapat kita raih? Akankah kemenangan dan futuh yang dijanjikan Alloh dapat kita capai? Tidak!! Jangan Mimpi!! Perjuangan itu masih panjang, menguras semua energi dan seluruh waktu yang kita punya. TAK KENAL kata BOSAN dan CUTI sementara. Jika seorang mujahid mengalami PENDERITAAN dalam perjuangannya, yakinlah itu BUKAN rintangan perjuangan tetapi JALAN BIASA yang harus dilaluinya sebagai SUNNATULLOH.


Ya ALLOH, pemilik segala kekuatan....

Engkau tiupkan ruh HAMASAH dan MILITANSI kepada siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau pula yang mencabut dan mengambilnya kembali dari siapapun yang Engkau kehendaki. Jika hanya ada 1 kebaikan dalam hidup kami yang Engkau terima, maka DEMI kebaikan itu ya Alloh, JANGAN USIR kami dari JALAN DA'WAH ini, apapun yang terjadi. Jangan biarkan kami gugur untuk kemudian Kau ganti dengan generasi lain yang lebih baik lagi. Sungguh Ya Alloh, betapa inginnya kami menjadi generasi itu. Izinkan kami bergabung dan masuk ke dalam barisannya, barisan GENERASI GHURABA' yang Kau cintai dan merekapun mencintaiMu, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mu'min dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalanMu dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Itulah karuniaMu, Engkau berikan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui...


Dan dengarlah perkataan mereka, generasi ghuroba'....

Bukanlah orang asing itu mereka yang berpisah dari negeri mereka dan mengucapkan selamat tinggal sekarang. Tapi orang asing itu ialah mereka yang tetap serius dikala manusia di sekelilingnya asyik bermain-main. Dan tetap terbangun ketika manusia disekelilingnya asyik tidur dengan lenanya. Dan tetap mengikuti jalan lurus dikala manusia dalam kesesatannya tenggelam tanpa arah.

Dan betapa benarnya sebuah syair ketika dia berkata. Berkata kepadaku para sahabat, ‘aku melihatmu sebagai orang asing’. Di antara orang banyak ini engkau tanpa teman dekat. Maka aku berkata, sekali-kali tidak! Bahkan orang banyak itulah yang asing, sedang aku berada di kehidupan dan inilah jalanku. Inilah orang asing itu. Asing di sisi mereka yang hidup sia-sia di antara manusia. Tetapi disisi Rabb-nya, mereka berada di tempat yang mulia.

Jika engkau bertanya tentang kami, maka kami tak peduli terhadap para taghut
Kami adalah tentara Allah selamanya, jalan kami adalah jalan yang sudah tersedia

Kami tak peduli terhadap rantai para taghut, sebaliknya kami akan terus berjuang
Maka marilah kita berjihad, dan berperang, dan berjuang dari sekarang
Ghurabaa`, dengan itulah mereka merdeka dari dunia yang hina



"Ayanqushul islamu wa ana hayyun?"
(akankah da'wah Islam ini melemah sedangkan saya masih hidup?)
[Abu Bakar Ash-Shidiq ra.]

Selasa, 23 November 2010

jalan Cinta sang pejuang

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil
tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah
pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan
pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat
kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki
adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia
berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang
pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi
Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak
hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya.
Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa
cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru
tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang
Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah
memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang
utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai
beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili
saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud
Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua,
shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini
bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak
jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi
isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan
segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata
sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang
datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami
menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki
urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah.
Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu
mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu
alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan
persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu
yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang
belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia
bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan
ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!”
???
Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki
apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran
tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih,
merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa
dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah,
dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang
yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang
kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan..
Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik
nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba
adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus
mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak
seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh
Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang
menjadi sulit ditepis..